Menyapa orang dengan tersenyum adalah salah satu Bahasa yang seragam di seluruh dunia, tanpa makna kata tetapi langsung dirasa. Meski kedatangan saya ke Kota Jodhpur tidak disambut dengan senyuman di bandara kota ini, saya tetap selalu mencoba untuk tersenyum sebelum menyapa. Jodhpur atau dikenal sebagai Blue City adalah kota terbesar kedua di Provinsi Rajashtan, India, tentu saja kota terbesarnya adalah Jaipur sebagai ibukotanya yang lebih terkenal dengan Pink City. Terletak di bagian barat India dan berbatasan langsung dengan Pakistan, tepatnya sekitar 200 km sebelum mencapai perbatasan. Karena letaknya yang berhadapan langsung dengan negara tetangga yang rawan konflik perbatasan sepanjang sejarahnya, Jodhpur adalah benteng pertama pertahanan India di bagian barat. Bandara Jodhpur merupakan pangkalan angkatan udara besar dengan peralatan tempur udara yang sangat lengkap. Saya merasa, mungkin inilah yang menjadi alasan setiap orang di Bandara Jodhpur cenderung tidak ramah dan mahal senyuman. Dan saya tetap tersenyum.
Begitu keluar dari bandara akhirnya saya mendapat senyuman yang pertama, dari sopir penjemput kami yang sekaligus akan menemani perjalan kami tiga hari di Kota Matahari ini. Jodhpur juga dikenal sebagai Sun City. Sang sopir bercerita bahwa masyarakat Jodhpur adalah masyarakat yang ramah dan sangat gampang didekati. What? Pertanyaan bernada protes muncul di benak saya. Pengalaman beberapa tahun lalu sewaktu saya menyusuri kota di Jaipur tidak demikian, orang Jaipur terkesan angkuh, sombong dan relative tidak friendly terhadap wisatawan. Beberapa kali mereka mencoba menipu kami. Si Sopir bercerita lain Jaipur lain pula Jodhpur. Meskipun sama-sama wilayah Rajashtan tetapi berbeda sifat. Orang Jodhpur dalam sejarahnya merupakan bangsa Arya yang sangat terkenal dengan kegagahannya dan keahliannya dalam berperang. Itulah mengapa kebanyakan orang-orang keturunan Arya berbadan lebih besar dari kebanyakan orang India lainnya. Mereka sangat ramah terhadap tamu, dan saya diberi satu resep dari sopir saya, pujilah terlebih dahulu saat berkenalan dengan orang Jaipur maka mereka akan segera menjadi kawan yang baik buat kita. Nice, jurus harus dicoba.
Berkunjung ke Jodhpur, tidak elok rasanya kalau kita tidak menyusuri labirin kota. Ribuan bangunan penduduk yang mengitari Benteng Mehrangarh dengan dominan warna biru menjadi pemandangan yang wajib dinikmati. Lansekap Kota Biru dapat kita nikmati dari Mehrangarh Fort. Dengan tiket masuk sekitar Rs 200 atau sekitar 40 ribu rupiah kita dapat menimkati indahnya birunya kota Jaipur. Sore hari menjadi waktu yang sangat bagus untuk menikmati sightseeing ini, sekaligus untuk menanti matahari terbenam.
Cantik dari jauh tentu saja akan membuat kita penasaran. Bagaimana kalau kota biru itu didekati? Ketika kita mendekat, semakin takjublah saya. Kota biru adalah labirin raksasa dengan jalan-jalan sempit bercabang-cabang dengan kehidupan yang bergairah layaknya kota di India lainnya. Bagi wisatawan, memasuki labirin kota sangat menarik tetapi juga sangat berisiko untuk tersesat. Saya sengaja mencari orang lokal yang sangat mengenal jalan-jalan di perkampungan kota tersebut satu hari sebelumnya. Jangan lupa pastikan berapa bayaran yang diminta untuk jasa tersebut, ya pastikan di awal, ini salah satu kebiasaan yang harus kita lakukan selama kita mengunjungi India. Selanjutnya sempatkanlah ngobrol dengan sang guide tersebut. Saya menunjukkan beberapa foto ikonik dari Steve McCurry yang diambil di Blue City. Ahai, dia sangat mengenal lokasi-lokasi tesebut, meski beberapa sudah berubah menurut dia. Akhirnya kami minta dibuatkan rute dan perkiraan waktu yang dihabiskan.
Keesokan harinya kami memulai menyusuri kehidupan urban di labirin kota. Salah satu tempat paling baik untuk memulai penyusuran adalah dari pintu belakang Mehrangrah Fort, salah satu alasannya kita akan dapat mudah kembali ke meeting point. Benteng besar ini memang terlihat dari seluruh penjuru kota, sehingga akan lebih mudah dijadikan patokan untuk meeting point. Sang Sopir pun tidak akan kesulitan untuk mendapatkan tempat parkir yang luas dan aman.
Meski hari masih pagi dan matahari baru mulai menghangati kota, suasana kehidupan di dalam perkampungan kota sudah begitu sibuk dan meriah. Hiruk pikuk masyarakat memulai hari dipadukan dengan warna-warni bangunan yang didominasi warna biru, warna khas kota ini. Saat ini, sekitar 1,3 juta penduduk tinggal di kota biru ini. Jodhpur lebih terkenal sebagai kota bisnis ketimbang kota wisata seperti Jaipur. Industri tekstilnya sangat terkenal dan diekspor ke manca negara.
Saya teringat cerita sopir hari sebelumnya mengenai jurus jitu bergaul dengan penduduk Jodpur. Ucapkan salam sambal tersenyum, dan jangan lupa beri edifikasi atau pujian kepada mereka. Ternyata jurus itu sangat ampuh, setiap bertemu orang saya dengan tersenyum ramah bilang,”Namaste … !! Anda sangat gagah, bolehkah saya potret?” Jawaban yang sangat mengagetkan adalah,”Mengapa tidak? Anda dari negara mana?” Woww, luar biasa ramah mereka ternyata. Saya tidak perlu memberikan mereka uang dan mereka memang tidak meminta uang. Cukup tunjukkan hasil jepretan dan jangan lupa puji sekali lagi untuk mereka. Beberapa dari mereka bertanya,”Bagaimana kami bias mendapatkan gambarnya?” Untungnya saya membawa satu printer portable yang sangat kompak yang selalu saya masukkan ke dalam saku rompi. Dengan system wi-fi alias secara nirkabel saya dapat mencetak beberapa saat langsung dari kamera dan langsung saya berikan kepada mereka. Saya memang terbiasa memakai rompi ketika ber-travelling ria. Beberapa rompi yang saya pilih adalah rompi dengan desain yang kasual, sehingga kita tetap terlihat seperti wisatawan ketimbang fotografer. Dengan berbekal kamera mirrorles nan kompak, saya bisa lebih merasa nyaman tidak terlihat sebagai fotografer professional.
Banyak sekali orang-orang yang sengaja minta kami memotretnya terutama anak-anak . Oh iya, bereka banyak bertanya tentang koin uang. Beberapa dari mereka memamerkan koleksi koin mata uang dari berbagai negara. Tidak ada salahnya, kalau kita mengunjungi Jodhpur kita membawa koin rupiah secukupnya dan nanti diberikan kepada anak-anak yang kita temui di Jodhpur. Mereka rata-rata lumayan cerdas dan lebih suka diberikan koin daripada permen.
Dengan menyempatkan untuk ngobrol dengan mereka, memang terasa perjalanan kita menjadi lambat tetapi itulah hal yang sebaiknya juga kita nikmati sebagai orang yang berbudaya, bahwa gambar yang kita dapat bukan segalanya. Menikmati perjalanan lebih berarti saat kita ada di suatu tempat yang memiliki budaya yang berbeda. Sekitar tiga jam tidak terasa sudah berlalu penyusuran di labirin kota biru ini. Rasa penasaran masih menumpuk, beberapa teman sempat mengajak untuk kembali di sore harinya. Tetapi jadwal kami tidak dapat ditawar lagi, kami harus segera menuju ke kota Jaisalmer di ujung barat Rajashtan yang memang menjadi tujuan utama kami untuk melihat Festival Gurun. Jodhpur hanyalah salah satu kota yang kami lewati, tetapi telah menghipnotis kami seakan ingin lebih lama lagi menikmati kota ini.
In my bag :
- Fujifilm XT1 dan Fujifilm XT1GS
- Lensa-lensa Fujinon : 16-55 f/2.8, 50-140f/2.8, 23mm f/1.4, 56mm f/1.2APD, Samyang Fisheye 8mm, 10-24 f/4
- Printer Instax Share SP1